Lazada Indonesia

Thursday, April 14, 2016

PROPOSAL HUKUM UPAYA APARAT PENEGAK HUKUM DALAM MEMINIMALISIR TINDAK KEJAHATAN PENCURIAN MOTOR DI WILAYAH SUKODONO KOTA SIDOARJO

PROPOSAL HUKUM
UPAYA APARAT PENEGAK HUKUM DALAM MEMINIMALISIR TINDAK KEJAHATAN PENCURIAN MOTOR
DI WILAYAH SUKODONO KOTA SIDOARJO

BAB I
PENDAHULUAN
I.  LATAR BELAKANG
Seperti kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam suku, agama dan adat istiadat yang beraneka ragam dari sabang sampai merauke. Adat istiadat tersebut sangat berbeda satu sama lainnya. Sejak negara ini memproklamirkan kemerdekaannya maka, Indonesia terbentuk menjadi negara kesatuan dengan memiliki satu sistem hukum yang berlaku secara Nasional. Yang mana sistem hukum itu merupakan salah satu alat pengitegrasi bangsa ini.
Sistem hukum Indonesia sampai saat ini masih berlaku adalah sistem hukum yang masih berkiblat kepada negara Belanda yaitu sistem hukum Eropa Continental atau sistem hukum Civil Law. Bukti adanya sistem hukum ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  ( KUHP ) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) yang sampai saat ini dianggap masih tetap berlaku. Hal ini tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945, pasal 1 aturan peralihan yang berbunyi : “ segala peraturan perundang-undangan yang masih ada dianggap tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar 1945” Pembangunan nasional yang dituangkan dalam GBHN, merupakan implementasi kehendak rakyat, yang berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, secara terencana dan terarah, sehingga pada gilirannya pembangunan dalam berbagai dimensi tidak berdiri sendiri tetapi memiliki korelasi antara berbagai upaya pembangunan yang memiliki keterkaitan, dalam menjalankan amanah Undang-Undang Dasar Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Pembangunan hukum merupakan suatu kewajiban pemerintah, yang mendapat berbagai hambatan, sehingga upaya penyadaran hukum kepada masyarakat perlu makin ditingkatkan. Tanpa ada upaya yang baik akan berakhir dengan sebuah kenistaan dimana terdapat sebuah kondisi masyarakat yang amburadul.
Untuk itu hukum dijadikan sebagai Panglima dalam mengatur berbagai gerak dinamika masyarakat.Proses penegakan hukum terasa masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peradilan yang tidak jujur, hakim-hakim yang terkontaminasi oleh kondisi perilaku pemerintahan yang tidak konsisten, pengacara yang mengerjai rakyat, adalah akumulasi ketidakpercayaan lembaga yudikatif, di dalam menjalankan perannya sebagai pelindung, pengayom rakyat, yang berdampak pada tatanan kehidupan masyarakat yang tidak menganggap hukum sebagai jaminan keselamatan di dalam interaksi sesama warga masyarakat.
Berbagai kasus merebak sejalan dengan tuntutan akan perubahan, yang dikenal dengan reformasi, tampak di berbagai lapisan masyarakat dari tingkat atas sampai bawah terjadi penyimpangan hukum. Pembangunan masyarakat hukum madani (civil society) merupakan tatanan hidup masyarakat yang memiliki kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum. Akan tetapi dalam perjalanan (transisi) perubahan terdapat sejumlah ketimpangan hukum yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Pencurian, misalnya dibentuk dari tingkat dan klasifikasi pencurian yang bermula dari tingkat atas sampai bawah, sehingga dalam setiap peristiwa, sorotan keras terhadap pencurian terus dilancarkan, dalam rangka mengurangi tindak kriminal. Dalam sejarah peradaban manusia pencurian ada sejak terjadi ketimpangan antara kepemilikan benda-benda kebutuhan manusia, kekurangan akan kebutuhan, dan ketidakpemilikan cenderung membuat orang berbuat menyimpang (pencurian). Pencurian dilakukan dengan berbagai cara, dari cara-cara tradisional sampai pada cara-cara modern dengan menggunakan alat-alat modern dengan pola yang lebih lihai. Hal seperti ini dapat terlihat dimana-mana, dan cenderung luput dari jeratan hukum.
Kecenderungan melakukan pencurian dengan delik apapun sering dilakukan, namun dalam beberapa kasus pencurian dilakukan dalam waktu tertentu, yaitu melibatkan kondisi dimana setiap orang akan mencari waktu yang tepat dalam melakukan aksi operandinya. Dari beberapa pengamatan terhadap kasus-kasus tampak bahwa kejadian pencurian yang sangat rawan (rentan) terhadap perilaku pencurian adalah di waktu malam hari Sehingga hampir setiap saat di waktu malam seluruh komponen masyarakat cenderung menyiapkan berbagai cara untuk mengatasi atau meminimalkan peluang pencurian, untuk itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam ronda-ronda malam (jaga malam) ini memberikan indikasi bahwa peluang pencurian dan Sasaran waktu yang dipilih oleh komplotan atau individu di dalam melakukan aksi pencurian dilakukan pada malam hari, sehingga dapatlah diindikasikan waktu malam memiliki potensi pencurian yang sangat tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu lain, sementara aktivitas pencurian yang dilakukan memiliki kecenderungan berkelompok yang dibentuk untuk menyusun aktivitas pencuriannya.
Pencurian merupakan tindakan kriminalitas, yang sangat menganggu kenyamanan rakyat. Untuk itu perlu sebuah tindakan konsisten yang dapat menegakkan hukum, sehingga terjalin kerukunan. Kemiskinan yang banyak mempengaruhi perilaku pencurian adalah kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat, ini dapat dibuktikan dari rasio pencurian yang makin meningkat di tengah kondisi obyektif pelaku di dalam melakukan aktivitasnya, kondisi ini dapat berdampak pada beberapa aspek, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan kehidupan pelaku tersebut, namun sejauh mana aktivitas itu dapat memberikan nilai positif dalam membangun masyarakat yang taat hukum.
Salah satu bentuk kejahatan yang akhir-akhir ini sering terjadi dan sangat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat di Sukodono kota Sidoarjo adalah pencurian kendaraan bermotor. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP, buku ke-2 titel XXII mulai dari Pasal 362 sampai Pasal 367 KUHP. Bentuk pokok pencurian diatur dalam Pasal 362 KUHP, adalah pencurian kendaraan bermotor khususnya kendaraan bermotor roda dua merupakan salah satu jenis kejahatan terhadap harta benda yang banyak menimbulkan kerugian.
II.  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana suatu tindak kejahatan pencurian motor dapat terjadi di daerah Sukodono kota Sidoarjo ?
2.      Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pencurian motor di daerah Sukodono kota Sidoarjo ?
3.      Upaya apa yang dilakukan oleh para pihak penegak hukum untuk meminimalisir kejahatan pencurian motor di daerah Sukodono kota Sidoarjo ?
III. TUJUAN PENELITIAN
Mendiskripsikan dan menganalisis masalah apa yang mempengaruhi tindak kejahatan pencurian motor di daerah Sukodono kota Sidoarjo Menganalisis dan mengetahui Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pencurian motor di daerah Sukodono kota Sidoarjo Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan oleh para pihak penegak hukum untuk menanggulangi tindak kejahatan pencurian motor roda dua di daerah Sukodono kota Sidoarjo
IV.  MANFAAT PENELITIAN
1.      Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan solusi  untuk meminimalisir terjadinya tindak kejahatan pencurian motor di suatu daerah Memberikan kontribusi pemikiran atau solusi mengenai masalah hukum pidana terkait dengan pencurian motor yang terjadi di kota Sidoarjo. Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara mendalam tentang penyebab tindak pidana pencurian motor
2.      Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka meningkatkan kualitas para penegak hukum dalam meminimalisir tindak kejahatan pencurian di daerah Sukodono kota Sidoarjo.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.  TINJAUAN PUSTAKA
Masalah penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto:
“Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral.
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa:
“Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat justitia et pereat mundus  ( meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan ). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat megharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum harus member manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat.”
Unsur yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan harus diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Keadilan itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Seandainya kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.
Semua masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya(UU No.48/ 2009).
Menurut Satochid Kartanegara:
“Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1)      Jiwa manusia (leven);
2)      Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3)      Kehormatan seseorang (eer);
4)      Kesusilaan (zede);
5)      Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);
6)      Harta benda/kekayaan (vermogen). “
Menurut P.A.F. Lamintang,
“pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan”.
Seorang hakim dalam menjatuhkan pidana yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1.         Kesalahan pembuat
2.         Motif dan tujuan dilakukan tindak pidana;
3.         Cara melakukan tindak pidana;
4.         Sikap batin pembuat;
5.         Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat;
6.         Sikap dan tindakan pembuat pidana sesudah melakukan tindak pidana;
7.         Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat;
8.         Pandangan masyarakat terhadap tindak Pidana yang dilakukan;
9.         Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan
10.     Tindak pidana dilakukan dengan berencana.

Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP antara lain : menurut pasal 10  Pidana pokok :
a) Pidana mati
b) Pidana penjara
c) Pidana kurungan
d) Pidana denda
e) Pidana tutupan
Pidana tambahan :
a)  Pencabutan hak-hak tertentu
b)  Perampasan barang-barang tertentu
c)  Pengumuman putusan hakim
a. Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit.
Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’.
Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.
b. Aparat Penegak Hukum
Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya.
“penegak hukum” yang dapat ditemui dalam peraturan yang terpisah antara lain: Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia :
“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Pasal 101 ayat (6) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan penjelasannya:
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
Dalam penjelasannya disebutkan: Yang dimaksud dengan “aparat penegak hukum lain” dalam ayat ini antara lain aparat penegak hukum dari Kepolisian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan Agung.
Pasal 49 ayat (2) huruf i UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan penjelasannya: Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum lain. Dalam penjelasannya: Yang dimaksud dengan “penegak hukum lain” antara lain kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan.
Pasal 2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi:
“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Pasal 1 angka 8 PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja:
“Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP, adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.”
c. Pencegahan Kejahatan
Untuk memahami konsep dari pencegahan kejahatan, kita tidak boleh terjebak pada makna kejahatannya, melainkan pada kata pencegahan. Freeman mencoba membongkar konsep dari pencegahan (prevention) itu dengan memecah katanya menjadi dua bagian unsur, yaitu prediksi (prediction) dan intervensi (intervention). Hal ini dapat dikatakan bahwa untuk mencegah terjadinya sesuatu hal (kejahatan), yang pertama sekali harus dilakukan adalah memprediksi kemungkinan dari tempat dan waktu terjadinya, dan kemudian menerapkan intervensi yang tepat pada titik perkiraannya.
Pada dasarnya, pencegahan kejahatan tidak memiliki definisi baku antara pakar satu dengan yang lainnya. Namun, inti dari pencegahan kejahatan adalah untuk menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan. Seperti Ekblom, menyatakan bahwa pencegahan kejahatan sebagai suatu intervensi dalam penyebab peristiwa pidana dan secara teratur untuk mengurangi risiko terjadinya dan/atau keseriusan potensi dari konsekuensi kejahatan itu. Definisi ini dialamatkan pada kejahatan dan dampaknya terhadap baik individu maupun masyarakat. Sedangkan Steven P. Lab memiliki definisi yang sedikit berbeda, yaitu pencegahan kejahatan sebagai suatu upaya yang memerlukan tindakan apapun yang dirancang untuk mengurangi tingkat sebenarnya dari kejahatan dan/atau hal-hal yang dapat dianggap sebagai kejahatan.
Menurut National Crime Prevention Institute (NCPI), pencegahan kejahatan melalui pengurangan kesempatan kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu antisipasi, pengakuan, dan penilaian terhadap resiko kejahatan, dan penginisiasian beberapa tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi kejahatan itu, yang dilakukan dengan pendekatan praktis dan biaya efektif untuk pengurangan dan penahanan kegiatan kriminal.
Pencegahan kejahatan merupakan sebuah metode kontrol yang langsung, berbeda dari metode-metode pengurangan kejahatan yang lainnya, seperti pelatihan kerja, pendidikan remedial, pengawasan polisi, penangkapan polisi, proses pengadilan, penjara, masa percobaan dan pembebasan bersyarat, yang masuk ke dalam metode kontrol kejahatan secara tidak langsung (indirect control). Pencegahan kejahatan, secara operasional, juga dapat dijelaskan sebagai sebuah praktek manajemen risiko kejahatan. Manajemen risiko kejahatan melibatkan pengembangan pendekatan sistematis untuk pengurangan risiko kejahatan yang hemat biaya dan yang mempromosikan baik keamanan dan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi korban potensial.
Pengelolaan dari resiko kejahatan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai langkah, diantara meliputi:
1.      Menghapus beberapa risiko kejahatan dengan sepenuhnya;
2.      Mengurangi beberapa resiko dengan menurunkan sejauh mana cedera atau kerugian dapat terjadi;
3.      Penyebaran (pemecahbelahan) beberapa resiko kejahatan melalui langkah-langkah keamanan fisik, elektronik, dan prosedural yang menolak, mencegah, menunda, atau mendeteksi serangan pidana;
4.      Memindahkan beberapa resiko melalui pembelian asuransi atau keterlibatan korban potensial lainnya; dan
5.      Menerima beberapa risiko
Sesuai dengan perkembangannya, terdapat tiga pendekatan yang dikenal dalam strategi pencegahan kejahatan. Tiga pendekatan itu ialah pendekatan secara sosial (social crime prevention), pendekatan situasional (situtational crime prevention), dan pencegahan kejahatan berdasarkan komunitas/masyarakat (community based crime prevention).
Social crime prevention merupakan pendekatan yang berusaha mencegah kejahatan dengan jalan mengubah pola kehidupan sosial daripada bentuk fisik dari lingkungan. Pencegahan kejahatan dengan pendekatan ini menuntut intervensi dari pemerintah yang menyusun kebijakan dan penyedia fasilitas (alat-alat) bagi masyarakat dalam upaya mengurangi perilaku kriminal, dengan mengubah kondisi sosial masyarakat, pola perilaku, serta nilai-nilai atau disiplin-disiplin yang ada di masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana agar akar dari penyebab kejahatan dapat ditumpas. Sasaran penyuluhan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah masyarakat umum dan pelaku-pelaku yang berpotensi melakukan kejahatan. Pendekatan ini memiliki hasil jangka panjang, tetapi sulit untuk mendapatkan hasil secara instan karena dibutuhkan pengubahan pola sosial masyarakat yang menyeluruh
Pendekatan yang kedua adalah situational crime prevention. Pencegahan secara situasional berusaha mengurangi kesempatan untuk kategori kejahatan tertentu dengan meningkatkan resiko (bagi pelaku) yang terkait, meningkatkan kesulitan dan mengurangi penghargaan. Pendekatan ini memiliki tiga indikasi untuk menentukan definisinya, yaitu:
Diarahkan pada bentuk-bentuk kejahatan yang spesifik.
Melibatkan manajemen, desain atau manipulasi keadaan lingkungan sekitar dengan cara yang sistematis.
Menjadikan kejahatan sebagai suatu hal yang sulit untuk terjadi, mengkondisikan bahwa kejahatan yang dilakukan akan kurang menguntungkan bagi pelaku.
Situational crime prevention pada dasarnya lebih menekankan bagaimana caranya mengurangi kesempatan bagi pelaku untuk melakukan kejahatan, terutama pada situasi, tempat, dan waktu tertentu. Dengan demikian, seorang pencegah kejahatan harus memahami pikiran rasional dari para pelaku. Hasil dari pendekatan ini adalah untuk jangka pendek.
Pendekatan yang ketiga, community-based crime revention, adalah pencegahan berupa operasi dalam masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara aktif bekerja sama dengan lembaga lokal pemerintah untuk menangani masalah-masalah yang berkontribusi untuk terjadinya kejahatan, kenakalan, dan gangguan kepada masyarakat. anggota masyarakat didorong untuk memainkan peran kunci dalam mencari solusi kejahatan. Hal ini dapat dicapai dengan memperbaiki kapasitas dari anggota masyarakat, melakukan pencegahan secara kolektif, dan memberlakukan kontrol sosial informal.
Pencegahan kejahatan berbasis masyarakat dapat meliputi Community policing, yaitu pendekatan kebijakan yang mempromosikan dan mendukung strategi untuk mengatasi masalah kejahatan melalui kemitraan polisi dengan masyarakat; dan Neighborhood Watch, yaitu sebuah strategi pengrehan masyarakat, di mana kelompk-kelompok dalam masyarakat mengatur, mencegah, dan melaporkan kejahatan yang terjadi dilingkungan mereka. Selain itu dapat juga dilakukan dengan pemberlakuan program-program seperti Comperhensive Communities, yang menggabungkan beberapa pendekatan untuk menanggapi masalah dalam masyarakat dan dengan aktivitas penegakan hukum khusus yang berhubungan dengan kejahatan.
II. KERANGKA TEORI
Pencegahan kejahatan situasional memiliki beberapa teori dasar yang melatarbelakanginya. Masing-masing dari teori ini dijelaskan oleh Steven P. Lab dalam bukunya Crime Prevention: Approaches, Practices and Evaluations, yang ia rangkum dari pendapat beberapa pakar, dan dalam proposal ini,  akan dijelaskan sebagai berikut:
Clarke dan Cornish (1985-1986)
menjelaskan bahwa rational choice theory merupakan teori yang menyatakan bahwa masing-masing individu membuat keputusan untuk melakukan kejahatan berdasarkan keuntungan (input) yang bisa didapatkan, termasuk keterlibatan upaya, hasil, tingkat dorongan terhadap tindakan, resiko, hukuman, dan kebutuhannya.
Cohen dan Felson (1979)
menjelaskan bahwa routine activity theory  merupakan hasil dari aktivitas harian masing-masing  individu memotivasi pelanggar atas target yang sesuai tanpa adanya wali. Konvergensi ini yang kemudian memberikan kesempatan bagi kejahatan terjadi. Cohen dan Felson menunjukkan pentingnya faktor aktivitas rutin dengan memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah rumah kosong di siang hari dan ketersediaan barang berharga portabel yang lebih besar di masa 1960-an membantu menjelaskan peningkatan perampokan perumahan. Peningkatan mobilitas masyarakat berfungsi untuk memicu/memunculkan sasaran/korban dan pelaku secara bersama-sama dengan frekuensi yang lebih besar daripada sebelumnya.
Perspektif teori gaya hidup (lifestyle theory) secara khusus berfokus pada aktivitas korban sebagai faktor dalam tindak pidana. Hindelang et al. (1978) menunjukkan bahwa pilihan gaya hidup dan perilaku dari seorang individu membantu menentukan apakah ia akan menjadi korban atau tidak. Sebagai contoh, orang yang sering menghabiskan waktu di klub-klub malam akan lebih berpotensi menjadi korban dan korban berulang dari tindakan kejahatan.
III. KERANGKA BERFIKIR
Dari kasus yang ada pada proposal saya ini bahwasanya aparat penegak hukum yang ada di daerah sukodono kota sidoarjo dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanannya terhadap masyarakat agar tindak kejahatan pencurian yang akhir-akhir ini sering terjadi di daerah sukodono semakin berkurang.
Cara-cara yang dapat dilakukan oleh para aparat penegak hukum tersebut salah satunya adalah dengan sosialisasi dan kerja sama dengan masyarakat sekitar untuk menanggulangi masalah yang meresahkan dan mengganggu keamanan dan ketertiban sosial tersebut.

IV. HIPOTESIS
 Dari rumusan masalah yang telah saya paparkan pada bab sebelumnya, dapat saya berikan hipotesis, antara lain:
Diduga terjadinya suatu tindak kejahatan pencurian di daerah sukodono adalah karena sistem keamanannya yang kurang baik
Diduga faktor penyebab dari terjadinya tindak kejahatan pencurian tersebut adalah karena adanya kelalaian dari masyarakatnya sendiri dimana mereka kurang berhati-hati dalam menjaga kendaraan mereka
Diduga upaya yang dilakukan oleh para penegak hukum tersebut kurang maksimal karena mereka jarang melakukan operasi atau sidak



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
I. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Lokasi penelitian :
Di desa sukodono
Di pasar sukodono
Waktu penelitian :
Pada hari rabu, 6 April 2016
Pada hari kamis, 7 April 2016

II. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga masyarakat wilayah sukodono serta pihak-pihak lain yang terkait Sampel penelitian ini adalah warga desa di sukodono Sampel dapat diambil dengan cara random sampling (secara acak) atau dengan cara Sampling aksidental (sample yang diambil dari siapa saja yang kebetulan berada disekitar peneliti)
 III. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL
v  Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu :
Variabel pertama : Aparat penegak hukum
Variabel kedua : meminimalisir tindak kejahatan pencurian
v  Definisi operasional variabel dalam penelitian ini berdasarkan variabel di atas adalah sebagai berikut :
Aparat penegak hukum adalah semua pihak yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan
Upaya pencegahan tindak kejahatan pencurian motor adalah untuk menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan pencurian motor

IV.TEKNIK DAN INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA
Teknik Pengumpulan Angket
Angket adalah kumpulan atau daftar pertanyaan yang di ajukan secara tertulis kepada responden (narasumber) dalam penelitian ini angket disebarkan kepada warga desa sukodono sebagai sampel penelitian.
Teknik study pustaka
Study pustaka adalah kumpulan beberapa refensi buku-buku yang di olah isinya untuk mendapatkan pengetahuan, masukan dan tambahan untuk menambah data serta memperkuat data dalam penelitian ini. Dalam teknik studi pustaka ini, selain menggunakan dengan buku-buku literatur yang ada maupun yang diperoleh dari perpustakaan saya juga melakukan analisis secara online tehadap tulisan-tulisan di internet.
V. DESAIN PENELITIAN
Untuk memperoleh data yang diinginkan, saya melakukan penyebaran angket kepada warga desa sukodono sebagai sampel penelitian. Setelah semua agket telah terisi kemudian dikumpulkan kembali dan dilanjutkan dengan proses pemilihan angket, kemudian jawaban dari angket yang lolos proses pemilihan lalu dianalisis jawabannya dan disempurnakan dengan metode study pustaka, baik dari buku-buku literatur yang ada maupun melakukan analisis melalui browsing di internet.



DAFTAR PUSTAKA
http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/HUKUM/article/view/1309
http://carapedia.com/pengertian_tindak_pidana_pencurian_info2078.html
Steven P. Lab, 2010: 193-194
KUHP, buku ke-2 titel XXII mulai dari Pasal 362 sampai Pasal 367
Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002
Huda, Chairul. 2008. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers
Kansil, CST, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta
Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono , 1983, Faktor-faktor yang MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta


0 comments:

Post a Comment