PROPOSAL
HUKUM
UPAYA APARAT PENEGAK
HUKUM DALAM MEMINIMALISIR TINDAK KEJAHATAN PENCURIAN MOTOR
DI WILAYAH SUKODONO
KOTA SIDOARJO
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Seperti
kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai
macam suku, agama dan adat istiadat yang beraneka ragam dari sabang sampai
merauke. Adat istiadat tersebut sangat berbeda satu sama lainnya. Sejak negara
ini memproklamirkan kemerdekaannya maka, Indonesia terbentuk menjadi negara
kesatuan dengan memiliki satu sistem hukum yang berlaku secara Nasional. Yang
mana sistem hukum itu merupakan salah satu alat pengitegrasi bangsa ini.
Sistem
hukum Indonesia sampai saat ini masih berlaku adalah sistem hukum yang masih
berkiblat kepada negara Belanda yaitu sistem hukum Eropa Continental atau
sistem hukum Civil Law. Bukti adanya sistem hukum ini adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ) yang sampai saat ini dianggap
masih tetap berlaku. Hal ini tertuang dalam pembukaan undang-undang dasar 1945,
pasal 1 aturan peralihan yang berbunyi : “ segala peraturan perundang-undangan
yang masih ada dianggap tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang dasar 1945”
Pembangunan
nasional yang dituangkan dalam GBHN, merupakan implementasi kehendak rakyat,
yang berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, secara terencana
dan terarah, sehingga pada gilirannya pembangunan dalam berbagai dimensi tidak
berdiri sendiri tetapi memiliki korelasi antara berbagai upaya pembangunan yang
memiliki keterkaitan, dalam menjalankan amanah Undang-Undang Dasar Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945,
Pembangunan
hukum merupakan suatu kewajiban pemerintah, yang mendapat berbagai hambatan,
sehingga upaya penyadaran hukum kepada masyarakat perlu makin ditingkatkan.
Tanpa ada upaya yang baik akan berakhir dengan sebuah kenistaan dimana terdapat
sebuah kondisi masyarakat yang amburadul.
Untuk
itu hukum dijadikan sebagai Panglima dalam mengatur berbagai gerak dinamika
masyarakat.Proses penegakan hukum terasa masih jauh dari harapan masyarakat.
Hal ini dapat dilihat dari peradilan yang tidak jujur, hakim-hakim yang
terkontaminasi oleh kondisi perilaku pemerintahan yang tidak konsisten,
pengacara yang mengerjai rakyat, adalah akumulasi ketidakpercayaan lembaga
yudikatif, di dalam menjalankan perannya sebagai pelindung, pengayom rakyat,
yang berdampak pada tatanan kehidupan masyarakat yang tidak menganggap hukum
sebagai jaminan keselamatan di dalam interaksi sesama warga masyarakat.
Berbagai
kasus merebak sejalan dengan tuntutan akan perubahan, yang dikenal dengan
reformasi, tampak di berbagai lapisan masyarakat dari tingkat atas sampai bawah
terjadi penyimpangan hukum. Pembangunan masyarakat hukum madani (civil society)
merupakan tatanan hidup masyarakat yang memiliki kepatuhan terhadap nilai-nilai
hukum. Akan tetapi dalam perjalanan (transisi) perubahan terdapat sejumlah
ketimpangan hukum yang dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Pencurian,
misalnya dibentuk dari tingkat dan klasifikasi pencurian yang bermula dari
tingkat atas sampai bawah, sehingga dalam setiap peristiwa, sorotan keras
terhadap pencurian terus dilancarkan, dalam rangka mengurangi tindak kriminal.
Dalam sejarah peradaban manusia pencurian ada sejak terjadi ketimpangan antara
kepemilikan benda-benda kebutuhan manusia, kekurangan akan kebutuhan, dan
ketidakpemilikan cenderung membuat orang berbuat menyimpang (pencurian). Pencurian
dilakukan dengan berbagai cara, dari cara-cara tradisional sampai pada
cara-cara modern dengan menggunakan alat-alat modern dengan pola yang lebih
lihai. Hal seperti ini dapat terlihat dimana-mana, dan cenderung luput dari
jeratan hukum.
Kecenderungan
melakukan pencurian dengan delik apapun sering dilakukan, namun dalam beberapa
kasus pencurian dilakukan dalam waktu tertentu, yaitu melibatkan kondisi dimana
setiap orang akan mencari waktu yang tepat dalam melakukan aksi operandinya.
Dari beberapa pengamatan terhadap kasus-kasus tampak bahwa kejadian pencurian
yang sangat rawan (rentan) terhadap perilaku pencurian adalah di waktu malam
hari Sehingga
hampir setiap saat di waktu malam seluruh komponen masyarakat cenderung
menyiapkan berbagai cara untuk mengatasi atau meminimalkan peluang pencurian,
untuk itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam ronda-ronda malam (jaga
malam) ini memberikan indikasi bahwa peluang pencurian dan Sasaran waktu yang
dipilih oleh komplotan atau individu di dalam melakukan aksi pencurian
dilakukan pada malam hari, sehingga dapatlah diindikasikan waktu malam memiliki
potensi pencurian yang sangat tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu lain,
sementara aktivitas pencurian yang dilakukan memiliki kecenderungan berkelompok
yang dibentuk untuk menyusun aktivitas pencuriannya.
Pencurian
merupakan tindakan kriminalitas, yang sangat menganggu kenyamanan rakyat. Untuk
itu perlu sebuah tindakan konsisten yang dapat menegakkan hukum, sehingga
terjalin kerukunan. Kemiskinan yang banyak mempengaruhi perilaku pencurian
adalah kenyataan yang terjadi di tengah masyarakat, ini dapat dibuktikan dari
rasio pencurian yang makin meningkat di tengah kondisi obyektif pelaku di dalam
melakukan aktivitasnya, kondisi ini dapat berdampak pada beberapa aspek, yaitu
ekonomi, sosial dan lingkungan kehidupan pelaku tersebut, namun sejauh mana
aktivitas itu dapat memberikan nilai positif dalam membangun masyarakat yang
taat hukum.
Salah
satu bentuk kejahatan yang akhir-akhir ini sering terjadi dan sangat mengganggu
keamanan dan ketertiban masyarakat di Sukodono kota Sidoarjo adalah pencurian
kendaraan bermotor. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP, buku ke-2
titel XXII mulai dari Pasal 362 sampai Pasal 367 KUHP. Bentuk pokok pencurian
diatur dalam Pasal 362 KUHP, adalah pencurian kendaraan bermotor khususnya
kendaraan bermotor roda dua merupakan salah satu jenis kejahatan terhadap harta
benda yang banyak menimbulkan kerugian.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
suatu tindak kejahatan pencurian motor dapat terjadi di daerah Sukodono kota
Sidoarjo ?
2. Faktor
apakah yang menyebabkan terjadinya pencurian motor di daerah Sukodono kota
Sidoarjo ?
3.
Upaya apa yang
dilakukan oleh para pihak penegak hukum untuk meminimalisir kejahatan pencurian
motor di daerah Sukodono kota Sidoarjo ?
III. TUJUAN
PENELITIAN
Mendiskripsikan
dan menganalisis masalah apa yang mempengaruhi tindak kejahatan pencurian motor
di daerah Sukodono kota Sidoarjo
Menganalisis
dan mengetahui Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pencurian
motor di daerah Sukodono kota Sidoarjo Untuk mengetahui upaya apa saja yang
dilakukan oleh para pihak penegak hukum untuk menanggulangi tindak kejahatan
pencurian motor roda dua di daerah Sukodono kota Sidoarjo
IV. MANFAAT PENELITIAN
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan
solusi untuk meminimalisir terjadinya
tindak kejahatan pencurian motor di suatu daerah Memberikan kontribusi
pemikiran atau solusi mengenai masalah hukum pidana terkait dengan pencurian
motor yang terjadi di kota Sidoarjo.
Dapat
dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara
mendalam tentang penyebab tindak pidana pencurian motor
2. Manfaat
Praktis
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka
meningkatkan kualitas para penegak hukum dalam meminimalisir tindak kejahatan
pencurian di daerah Sukodono kota Sidoarjo.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
I. TINJAUAN
PUSTAKA
Masalah
penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya
masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam
kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan yang
sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari penegakan
hukum.
Menurut Soerjono
Soekanto:
“Secara
konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai
suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan
keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara
hukum dan moral.
Sudikno Mertokusumo
mengatakan bahwa:
“Hukum
harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat
ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Bagaimana hukumnya
itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang; fiat
justitia et pereat mundus ( meskipun
dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan ). Itulah yang diinginkan oleh
kepastian hukum. kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk
ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat megharapkan manfaat dalam
pelaksanaan atau penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan
hukum harus member manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru
karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam
masyarakat.”
Unsur
yang ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam
pelaksanaan atau penegakkan hukum keadilan harus diperhatikan. Dalam
pelaksanaan atau penegakkan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan.
Keadilan itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Seandainya
kita lebih cenderung berpegang pada nilai kepastian hukum atau dari sudut
peraturannya, maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-nilai keadilan dan
kegunaan. Karena yang penting pada nilai kepastian itu adalah peraturan itu
sendiri. Tentang apakah peraturan itu telah memenuhi rasa keadilan dan berguna
bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum. Begitu juga
jika kita lebih cenderung berpegang kepada nilai kegunaan saja, maka sebagai
nilai ia akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan, karena
yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut
bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Demikian juga halnya jika kita hanya
berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai
kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada
kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang
dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.
Semua
masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa
pergelokan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai
hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim
dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Keadaan-keadaan pribadi
seseorang perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan
seadil-adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan
orang-orang dari lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan
sebagainya(UU No.48/ 2009).
Menurut Satochid
Kartanegara:
“Hukuman
(pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum
pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan
oleh undang-undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan
keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang
berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana),
karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan
oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan
kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana.
Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut:
1) Jiwa manusia (leven);
2) Keutuhan tubuh manusia (lyf);
3) Kehormatan seseorang (eer);
4) Kesusilaan (zede);
5) Kemerdekaan pribadi (persoonlyke
vryheid);
6) Harta benda/kekayaan (vermogen). “
Menurut P.A.F.
Lamintang,
“pidana
itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini
berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat
mempunyai tujuan. Menurutnya hal tersebut perlu dijelaskan, agar kita di
Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari para
penulis di negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari
pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di
tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu,
secara harfiah telah menterjemahkan perkataan “doel der straf” dengan perkataan
tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan “doel der straf” itu
sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan”.
Seorang
hakim dalam menjatuhkan pidana yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
1.
Kesalahan pembuat
2.
Motif dan tujuan
dilakukan tindak pidana;
3.
Cara melakukan tindak
pidana;
4.
Sikap batin pembuat;
5.
Riwayat hidup dan
keadaan sosial ekonomi pembuat;
6.
Sikap dan tindakan
pembuat pidana sesudah melakukan tindak pidana;
7.
Pengaruh pidana
terhadap masa depan pembuat;
8.
Pandangan masyarakat
terhadap tindak Pidana yang dilakukan;
9.
Pengaruh tindak pidana
terhadap korban atau keluarga korban; dan
10. Tindak
pidana dilakukan dengan berencana.
Jenis- jenis pidana dalam ketentuan KUHP
antara lain : menurut pasal 10 Pidana pokok :
a)
Pidana mati
b)
Pidana penjara
c)
Pidana kurungan
d)
Pidana denda
e)
Pidana tutupan
Pidana
tambahan :
a) Pencabutan hak-hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
a. Penegakan
Hukum
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau
dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas
dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti
yang terbatas atau sempit.
Dalam
arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam
setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu
dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal
ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas,
penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Karena
itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula
digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara
formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan
dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau
dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’
yang berarti ‘the rule of man by law’.
Dalam
istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi
bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just
law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk
menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu
dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by
law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum
sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan
uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu
kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti
formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang
bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dari
pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita
tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek
dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau
kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah
aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk
memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema
penegakan hukum itu.
b. Aparat
Penegak Hukum
Aparatur
penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat
(orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang
terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat
hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan
aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau
perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi,
serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam
proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang
mempengaruhi, yaitu: institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana
dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; budaya kerja yang
terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan
perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya
maupun hukum acaranya.
“penegak
hukum” yang dapat ditemui dalam peraturan yang terpisah antara lain: Pasal 2 UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia :
“Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.”
Pasal
101 ayat (6) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan penjelasannya:
Dalam
rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dapat meminta bantuan aparat penegak hukum
lain.
Dalam
penjelasannya disebutkan: Yang dimaksud dengan “aparat penegak hukum lain”
dalam ayat ini antara lain aparat penegak hukum dari Kepolisian Republik
Indonesia, Direktorat Jenderal Imigrasi, Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan
Agung.
Pasal
49 ayat (2) huruf i UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan
penjelasannya: Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Otoritas Jasa
Keuangan berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum lain. Dalam
penjelasannya: Yang dimaksud dengan “penegak hukum lain” antara lain kejaksaan,
kepolisian, dan pengadilan.
Pasal
2 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi:
“Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.”
Pasal
1 angka 8 PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja:
“Satuan
Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat Satpol PP, adalah bagian
perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat.”
c. Pencegahan
Kejahatan
Untuk
memahami konsep dari pencegahan kejahatan, kita tidak boleh terjebak pada makna
kejahatannya, melainkan pada kata pencegahan. Freeman mencoba membongkar konsep
dari pencegahan (prevention) itu dengan memecah katanya menjadi dua bagian
unsur, yaitu prediksi (prediction) dan intervensi (intervention). Hal ini dapat
dikatakan bahwa untuk mencegah terjadinya sesuatu hal (kejahatan), yang pertama
sekali harus dilakukan adalah memprediksi kemungkinan dari tempat dan waktu
terjadinya, dan kemudian menerapkan intervensi yang tepat pada titik perkiraannya.
Pada
dasarnya, pencegahan kejahatan tidak memiliki definisi baku antara pakar satu
dengan yang lainnya. Namun, inti dari pencegahan kejahatan adalah untuk
menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan. Seperti Ekblom,
menyatakan bahwa pencegahan kejahatan sebagai suatu intervensi dalam penyebab
peristiwa pidana dan secara teratur untuk mengurangi risiko terjadinya dan/atau
keseriusan potensi dari konsekuensi kejahatan itu. Definisi ini dialamatkan
pada kejahatan dan dampaknya terhadap baik individu maupun masyarakat.
Sedangkan Steven P. Lab memiliki definisi yang sedikit berbeda, yaitu
pencegahan kejahatan sebagai suatu upaya yang memerlukan tindakan apapun yang
dirancang untuk mengurangi tingkat sebenarnya dari kejahatan dan/atau hal-hal
yang dapat dianggap sebagai kejahatan.
Menurut
National Crime Prevention Institute (NCPI), pencegahan kejahatan melalui
pengurangan kesempatan kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu antisipasi,
pengakuan, dan penilaian terhadap resiko kejahatan, dan penginisiasian beberapa
tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi kejahatan itu, yang dilakukan
dengan pendekatan praktis dan biaya efektif untuk pengurangan dan penahanan
kegiatan kriminal.
Pencegahan
kejahatan merupakan sebuah metode kontrol yang langsung, berbeda dari
metode-metode pengurangan kejahatan yang lainnya, seperti pelatihan kerja,
pendidikan remedial, pengawasan polisi, penangkapan polisi, proses pengadilan,
penjara, masa percobaan dan pembebasan bersyarat, yang masuk ke dalam metode kontrol
kejahatan secara tidak langsung (indirect control). Pencegahan kejahatan,
secara operasional, juga dapat dijelaskan sebagai sebuah praktek manajemen
risiko kejahatan. Manajemen risiko kejahatan melibatkan pengembangan pendekatan
sistematis untuk pengurangan risiko kejahatan yang hemat biaya dan yang
mempromosikan baik keamanan dan kesejahteraan sosial dan ekonomi bagi korban
potensial.
Pengelolaan
dari resiko kejahatan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai langkah,
diantara meliputi:
1. Menghapus
beberapa risiko kejahatan dengan sepenuhnya;
2. Mengurangi
beberapa resiko dengan menurunkan sejauh mana cedera atau kerugian dapat
terjadi;
3. Penyebaran
(pemecahbelahan) beberapa resiko kejahatan melalui langkah-langkah keamanan
fisik, elektronik, dan prosedural yang menolak, mencegah, menunda, atau
mendeteksi serangan pidana;
4. Memindahkan
beberapa resiko melalui pembelian asuransi atau keterlibatan korban potensial
lainnya; dan
5. Menerima
beberapa risiko
Sesuai
dengan perkembangannya, terdapat tiga pendekatan yang dikenal dalam strategi
pencegahan kejahatan. Tiga pendekatan itu ialah pendekatan secara sosial
(social crime prevention), pendekatan situasional (situtational crime
prevention), dan pencegahan kejahatan berdasarkan komunitas/masyarakat
(community based crime prevention).
Social
crime prevention merupakan pendekatan yang berusaha mencegah kejahatan dengan
jalan mengubah pola kehidupan sosial daripada bentuk fisik dari lingkungan.
Pencegahan kejahatan dengan pendekatan ini menuntut intervensi dari pemerintah
yang menyusun kebijakan dan penyedia fasilitas (alat-alat) bagi masyarakat
dalam upaya mengurangi perilaku kriminal, dengan mengubah kondisi sosial
masyarakat, pola perilaku, serta nilai-nilai atau disiplin-disiplin yang ada di
masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana agar akar dari penyebab
kejahatan dapat ditumpas. Sasaran penyuluhan yang dilakukan oleh pembuat
kebijakan adalah masyarakat umum dan pelaku-pelaku yang berpotensi melakukan
kejahatan. Pendekatan ini memiliki hasil jangka panjang, tetapi sulit untuk
mendapatkan hasil secara instan karena dibutuhkan pengubahan pola sosial
masyarakat yang menyeluruh
Pendekatan
yang kedua adalah situational crime prevention. Pencegahan secara situasional
berusaha mengurangi kesempatan untuk kategori kejahatan tertentu dengan
meningkatkan resiko (bagi pelaku) yang terkait, meningkatkan kesulitan dan
mengurangi penghargaan. Pendekatan ini memiliki tiga indikasi untuk menentukan
definisinya, yaitu:
Diarahkan
pada bentuk-bentuk kejahatan yang spesifik.
Melibatkan
manajemen, desain atau manipulasi keadaan lingkungan sekitar dengan cara yang
sistematis.
Menjadikan
kejahatan sebagai suatu hal yang sulit untuk terjadi, mengkondisikan bahwa
kejahatan yang dilakukan akan kurang menguntungkan bagi pelaku.
Situational
crime prevention pada dasarnya lebih menekankan bagaimana caranya mengurangi
kesempatan bagi pelaku untuk melakukan kejahatan, terutama pada situasi,
tempat, dan waktu tertentu. Dengan demikian, seorang pencegah kejahatan harus
memahami pikiran rasional dari para pelaku. Hasil dari pendekatan ini adalah
untuk jangka pendek.
Pendekatan
yang ketiga, community-based crime revention, adalah pencegahan berupa operasi
dalam masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara aktif bekerja sama dengan
lembaga lokal pemerintah untuk menangani masalah-masalah yang berkontribusi
untuk terjadinya kejahatan, kenakalan, dan gangguan kepada masyarakat. anggota
masyarakat didorong untuk memainkan peran kunci dalam mencari solusi kejahatan.
Hal ini dapat dicapai dengan memperbaiki kapasitas dari anggota masyarakat,
melakukan pencegahan secara kolektif, dan memberlakukan kontrol sosial
informal.
Pencegahan
kejahatan berbasis masyarakat dapat meliputi Community policing, yaitu
pendekatan kebijakan yang mempromosikan dan mendukung strategi untuk mengatasi
masalah kejahatan melalui kemitraan polisi dengan masyarakat; dan Neighborhood
Watch, yaitu sebuah strategi pengrehan masyarakat, di mana kelompk-kelompok
dalam masyarakat mengatur, mencegah, dan melaporkan kejahatan yang terjadi
dilingkungan mereka. Selain itu dapat juga dilakukan dengan pemberlakuan
program-program seperti Comperhensive Communities, yang menggabungkan beberapa
pendekatan untuk menanggapi masalah dalam masyarakat dan dengan aktivitas
penegakan hukum khusus yang berhubungan dengan kejahatan.
II. KERANGKA TEORI
Pencegahan
kejahatan situasional memiliki beberapa teori dasar yang melatarbelakanginya.
Masing-masing dari teori ini dijelaskan oleh Steven P. Lab dalam bukunya Crime
Prevention: Approaches, Practices and Evaluations, yang ia rangkum dari
pendapat beberapa pakar, dan dalam proposal ini, akan dijelaskan sebagai berikut:
Clarke dan
Cornish (1985-1986)
menjelaskan
bahwa rational choice theory merupakan teori yang menyatakan bahwa masing-masing
individu membuat keputusan untuk melakukan kejahatan berdasarkan keuntungan
(input) yang bisa didapatkan, termasuk keterlibatan upaya, hasil, tingkat
dorongan terhadap tindakan, resiko, hukuman, dan kebutuhannya.
Cohen dan Felson
(1979)
menjelaskan
bahwa routine activity theory merupakan
hasil dari aktivitas harian masing-masing
individu memotivasi pelanggar atas target yang sesuai tanpa adanya wali.
Konvergensi ini yang kemudian memberikan kesempatan bagi kejahatan terjadi.
Cohen dan Felson menunjukkan pentingnya faktor aktivitas rutin dengan
memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah rumah kosong di siang hari dan
ketersediaan barang berharga portabel yang lebih besar di masa 1960-an membantu
menjelaskan peningkatan perampokan perumahan. Peningkatan mobilitas masyarakat
berfungsi untuk memicu/memunculkan sasaran/korban dan pelaku secara
bersama-sama dengan frekuensi yang lebih besar daripada sebelumnya.
Perspektif
teori gaya hidup (lifestyle theory) secara khusus berfokus pada aktivitas korban
sebagai faktor dalam tindak pidana. Hindelang et al. (1978) menunjukkan bahwa
pilihan gaya hidup dan perilaku dari seorang individu membantu menentukan
apakah ia akan menjadi korban atau tidak. Sebagai contoh, orang yang sering
menghabiskan waktu di klub-klub malam akan lebih berpotensi menjadi korban dan
korban berulang dari tindakan kejahatan.
III. KERANGKA BERFIKIR
Dari
kasus yang ada pada proposal saya ini bahwasanya aparat penegak hukum yang ada
di daerah sukodono kota sidoarjo dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanannya
terhadap masyarakat agar tindak kejahatan pencurian yang akhir-akhir ini sering
terjadi di daerah sukodono semakin berkurang.
Cara-cara
yang dapat dilakukan oleh para aparat penegak hukum tersebut salah satunya
adalah dengan sosialisasi dan kerja sama dengan masyarakat sekitar untuk
menanggulangi masalah yang meresahkan dan mengganggu keamanan dan ketertiban
sosial tersebut.
IV. HIPOTESIS
Dari rumusan masalah yang telah saya paparkan
pada bab sebelumnya, dapat saya berikan hipotesis, antara lain:
Diduga
terjadinya suatu tindak kejahatan pencurian di daerah sukodono adalah karena
sistem keamanannya yang kurang baik
Diduga
faktor penyebab dari terjadinya tindak kejahatan pencurian tersebut adalah
karena adanya kelalaian dari masyarakatnya sendiri dimana mereka kurang
berhati-hati dalam menjaga kendaraan mereka
Diduga
upaya yang dilakukan oleh para penegak hukum tersebut kurang maksimal karena
mereka jarang melakukan operasi atau sidak
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
I. LOKASI DAN
WAKTU PENELITIAN
Lokasi
penelitian :
Di desa sukodono
Di pasar
sukodono
Waktu penelitian
:
Pada hari rabu, 6 April 2016
Pada hari kamis,
7 April 2016
II. POPULASI DAN SAMPEL
PENELITIAN
Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh warga masyarakat wilayah sukodono serta
pihak-pihak lain yang terkait
Sampel
penelitian ini adalah warga desa di sukodono Sampel dapat diambil
dengan cara random sampling (secara acak) atau dengan cara Sampling aksidental
(sample yang diambil dari siapa saja yang kebetulan berada disekitar peneliti)
III. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL
v Dalam penelitian ini menggunakan dua variabel
yaitu :
Variabel pertama
: Aparat penegak hukum
Variabel kedua :
meminimalisir tindak kejahatan pencurian
v Definisi operasional variabel dalam
penelitian ini berdasarkan variabel di atas adalah sebagai berikut :
Aparat
penegak hukum adalah semua pihak yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu,
dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir
pemasyarakatan
Upaya
pencegahan tindak kejahatan pencurian motor adalah untuk menghilangkan atau
mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan pencurian motor
IV.TEKNIK DAN
INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA
Teknik
Pengumpulan Angket
Angket
adalah kumpulan atau daftar pertanyaan yang di ajukan secara tertulis kepada
responden (narasumber) dalam penelitian ini angket disebarkan kepada warga desa
sukodono sebagai sampel penelitian.
Teknik study
pustaka
Study
pustaka adalah kumpulan beberapa refensi buku-buku yang di olah isinya untuk
mendapatkan pengetahuan, masukan dan tambahan untuk menambah data serta
memperkuat data dalam penelitian ini. Dalam teknik studi pustaka ini, selain
menggunakan dengan buku-buku literatur yang ada maupun
yang diperoleh dari perpustakaan saya juga melakukan analisis secara online
tehadap tulisan-tulisan di internet.
V. DESAIN
PENELITIAN
Untuk
memperoleh data yang diinginkan, saya melakukan penyebaran angket kepada warga
desa sukodono sebagai sampel penelitian. Setelah semua agket telah terisi
kemudian dikumpulkan kembali dan dilanjutkan dengan proses pemilihan angket,
kemudian jawaban dari angket yang lolos proses pemilihan lalu dianalisis
jawabannya dan disempurnakan dengan metode study pustaka, baik dari buku-buku
literatur yang ada maupun melakukan analisis melalui browsing di internet.
DAFTAR PUSTAKA
http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/HUKUM/article/view/1309
http://carapedia.com/pengertian_tindak_pidana_pencurian_info2078.html
Steven P. Lab, 2010: 193-194
KUHP, buku ke-2 titel XXII mulai dari Pasal 362
sampai Pasal 367
Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002
Huda, Chairul. 2008. Dari Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Soekanto, Soerjono. 2008. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers
Kansil, CST, 1993, Pengantar ilmu hukum dan Tata
hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta
Sunggono, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian
Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono , 1983, Faktor-faktor yang
MempengaruhiPenegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
0 comments:
Post a Comment